Kamis, 21 September 2017

Tabayyun

0 Comments

Sahabat Muslim yang dirahmati Allah SWT.

zaman sekarang ini setiap orang tidak luput dari teknologi dan media sosial. Dimana teknologi sekarang ini semakin berkembang dengan pesatnya. Dalam mendapatkan sebuah informasi juga butuh yang namanya teknologi, sedangkan Setiap orang juga pasti membutuhkan yang namanya informasi. Namun yang menjadi pertanyaan  apakah informasi yang tersebar di media itu sudah benar dan akurat? Sudahkah mengandung salah satu sifat dari Nabi yaitu sidiq yang berarti jujur/benar dan transparan?. Banyak orang yang memiliki kepentingan untuk mendapatkan profit yang banyak. Beberapa golongan baik individu maupun kelompok rela membuat informasi yang mengandung ke bohongan/hoax demi mendapatkan keuntungan yang banyak tanpa memperhatikan efek yang akan terjadi dalam masyarakat. Sedangkan dalam ajaran islam diajarkan untuk selalu berkata dan berperilaku jujur, karena dengan kejujuran hal  baiklah yang akan terjadi, seperti dalam sebuah hadis :

“Hendaklah kamu selalu jujur karena kejujuran itu akan membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu akan membawa kedalam surga.” (H.R. bukhari dan Muslim)

Sahabat Muslim, bagaimana seharusnya kita bersikap ketika mendapatkan informasi entah itu dari media maupun dari mulut individu yang belum tentu kebenarannya? Menurut penulis pribadi Ada 2 tipe orang  dalam merespon sebuah informasi, yang pertama yaitu orag yang langsung percaya begitu saja dan yang kedua yaitu orang yang tidak langsung percaya. Nah, lalu bagaimana seharusnya kita menyikapi hal tersebut. tentu saja kita harus bertabayyun terlebih dahulu. Apa makna dari tabayyu tersebut?

Tabayyun secara bahasa memiliki arti mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas benar keadaannya. Sedangkan secara istilah adalah meneliti dan meyeleksi berita, tidak tergesa-gesa dalam memutuskan masalah baik dalam hal hukum, kebijakan dan sebagainya hingga jelas benar permasalahannya. Nah dalam menerima sebuah informasi, kita harus menerapkan perilaku tabayyun tersebut. Karena dalam Al-Qur’an Allah SWT memerintahkan kita untuk melakukan tabayyun :
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan kamu itu.” (Q.S.Al-Hujurat : 6)
Menurut buku Al-Qurthubi, Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an, Dar, juz XVI  Untuk menerima berita, pengetahuan akan sumber berita merupakan sesuatu yang penting. Islam, melalui surat al-Hujurat ayat 6 ini, mengajarkan bahwa sumber berita tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori : (1) ‘adil (Muslim dan tidak fasik); (2) fasiq (tidak adil). Jika sumber berita tersebut orang yang adil, yaitu orang Islam yang tidak melakukan dosa kecil atau dosa besar dengan sengaja, maka beritanya dapat diterima. Sekalipun demikian, kondisi kefasikan tersebut dapat saja terjadi pada orang Islam yang asalnya adil sehingga al-Qurthubi tetap mensyaratkan agar pihak pengambil keputusan (al-hakim), baik penguasa maupun bukan, tetap harus melakukan pengecekan terhadap berita yang diterimanya, sekalipun dari orang Islam.
Sahabat Muslim, karena sekarang ini banyak sekali tersebar berbagai informasi yang tidak akurat, kita sebagai umat islam harus pintar-pintar dalam menerima suatu informasi. lebih-lebih jika itu tenatang ajaran agama islam. Kita tidak bisa begitu saja menerima ajaran yang belum tentu kebenarannya. Karena dalam agama islam dalam menerima ajaran/ilmu harus melalui yang namanya seorang guru yang memang paham akan ajaran islam, dengan istilah lain harus mempunyai sanad/ asal usul ajaran yang jelas, sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, seperti dalam sebuah hadis.
Ibnul Mubarak berkata :
”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.” (H.R.Muslim).
Semoga kita senantiasa menjadi umat yang cerdas dalam menerima suatu informasi, sehingga kita bisa Menjadi  umat yang menaati perintah Allah SWT. Aamiin Ya Rabb.

Referensi :
Al-Qurthubi, Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an, Dar, juz XVI
Hidayat, Soleh. 2011. Kumpulan Hadis Tentang akhlaq Terpuji. Jakarta : CV Megah Jaya.

Penulis :
SUKARMAN
Anak asuh Yayasan Kemaslahatan Umat Yogyakarta dan Mahasiswa jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Sembunyikanlah

0 Comments

Sahabat Muslim yang dirahmati Allah,

Pernahkah kita merasa lebih nikmat manakah melakukan suatu ibadah secara terang-terangan, atau melakukannya secara sembunyi-sembunyi, dalam arti lain kita merasa lebih nyaman ketika melakukan ibadah tanpa diketahui oleh orang lain, hanya Allah dan malaikat pencatat amal lah yang mengetahuinya?

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb sekalian alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (Q.S. Al-An’am : 162-163)

Dizaman yang semakin canggih dan serba tekhnologi ini, hampir semua orang memiliki akun sosial media, baik itu Facebook, instagram, Youtube, Path, WhatssApp dan lain sebagainya, namun sebagian orang tidak bisa menggunakan akun sosial media mereka dengan baik dan benar, disini saya tidak menuduh seseorang ataupun golongan tertentu, penulis hanya mengamati apa yang telah terjadi belakangan ini. banyak orang yang sering mengupload/mengunggah foto maupun video tentang kebaikan-kebaikan yang telah dilakukannya, misal shalat, sedekah, naik haji dan lain sebagainya. Orang berlomba-lomba dalam mengeshare hal-hal yang bisa mendongkrak dan menarik perhatian orang lain untuk memuji akan eksistensinya dalam berbuat kebaikan, sedangkan niat orang melakukan hal itu bermacam-macam. Ada yang mempunyai niat hanya ingin eksis disosial media, ada pula yang berniat ingin pamer kepada orang lain. Namun setiap individu pasti mempunyai niat yang berbeda-beda, hanya individu yang bersangkutan dan Allah lah yang mengetahuinya. seperti dalam sebuah hadis :

“Bahwasanya segala amal perbuatan tergantung pada niat, dan bahwasanya bagi tiap-tiap orang memperoleh menurut apa yang diniatkannya. Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya kepada dunia yang ingin didapatkannya, atau wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang ditujunya “. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tarmidzi dan An-Nasa’I)

Dalam tulisan ini penulis tidak bermaksud menjudge orang lain riya’ atau pamer dengan kebaikan yang  diperlihatkannya di sosial media, mungkin penulis juga masih sering melakukan hal tersebut, namun yang perlu kita garis bawahi bersama adalah niat  yang harus dikemas dengan baik, harus diniatkan hanya Lillahi ta’ala. Sesungguhnya mengambil sikap beramal dengan menyembunyikannya lebih disukai oleh Allah SWT.

“Sesungguhnya Allah menyukai hamba yang bertaqwa lagi kaya dan menyembunyikan amalnya” (H.R.Muslim)

Menurut pengalaman yang penulis rasakan, banyak orang yang lebih merasa menyesal ketika tidak bisa mengunggah foto tentang kebaikan yang telah dilakukannya  kesosial media daripada melakukan kebaikan yang lebih banyak lagi. Boleh-boleh saja mengabadikan suatu amal kebaikan itu di media sosial yang diniatkan agar orang yang melihat dokumentasi tersebut tergerak hatinya untuk melakukan kebaikan juga, tetapi disini penulis sekedar mengingatkan jangan sampai kebaikan yang kita unggah disosial media itu dengan niat utama untuk menunjukkan eksistensi diri, agar orang lain memuji diri kita, namun sekali lagi diniatkan untuk berdakwah kepada orang lain melalui media, karena jika kita berdakwah atau mengajak orang lain berbuat baik, maka akan mendapatkan pahala dari Allah SWT, seperti sebuah hadis :

“Barang siapa yang menunjukkan kepada suatu kebaikan, maka baginya pahala seperti orang yang melaksanakannya” (H.R.Muslim)

Sahabat Muslim, mari kita sama-sama membenahi niat kita, dizaman yang semakin canggih ini jangan sampai diri kita terbawa  kepada laknatullah, karena segala apa yang kita niatkan itu akan kembali kepada apa yang kita niatkan. Jika kita berniat mengejar akhirat, maka dunia akan mendekati kita. namun jika kita hanya mengejar dunia, maka akhirat akan meninggalkan kita dan belum tentu dunia bisa kita dapatkan.


Referensi :

Asmuni syukir. 1998. Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam. Surabaya : Al-Ikhlas


Penulis

SUKARMAN

Anak asuh Yayasan Kemaslahatan Umat Yogyakarta dan Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

 
back to top